Rabu, 08 Januari 2014

Bagaimana Cara Belajar yang Sesuai dengan Perkembangan Anak?

Umumnya orangtua suka kalau anaknya maju dengan lebih cepat dibandingkan anak-anak sebayanya. Hanya saja, sebagian orantua memaksakan anaknya untuk belajar sesuatu yang belum waktunya, juga dengan cara yang belum sesuai dengan dirinya. Lalu bagaimana cara belajar yang sesuai dengan perkembangan anak?


Tokoh Psikologi Belajar yang bernama Jerome Seymour Bruner. Beliau ini paling terkenal dengan teori Discovery Learning-nya.
Bagian menariknya adalah tentang tahap perkembangan menurut Bruner. Ia membagi tahap perkembangan menjadi 3: tahap enactive (0-3 tahun), tahap iconic (3-8 tahun) dan tahap symbolic (> 8 tahun).
Tahap enactive (0-3 tahun) merupakan tahapan ketika anak mencoba memahami lingkungannya melalui objek konkrit. Contonya, seorang anak yang belajar berhitung dengan menggunakan kelereng sebagai media.
Tahap iconic (3-8 tahun) merupakan tahapan ketika seorang anak mencoba memahami lingkungan melalui gambar. Contohnya, anak-anak belajar berhitung dengan gambar-gambar, misalnya gambar bola.
Tahap symbolic (> 8 tahun) adalah tahapan dimana anak-anak merespon kegiatan dan alam nyata dengan simbolisasi. Contoh menggunakan simbol angka untuk berhitung.
Berhitung, menulis dan membaca. Dalam berhitung, aku sudah menguasai operasi hitung tambah, kurang, kali dan bagi. Begitu juga dengan membaca, aku sudah bisa membaca tulisan arab maupun latin dengan lancar. Tak kalah juga kemampuan menulis, meskipun tulisanku juga tidak indah indah amat.
Prestasi ini terus berlanjut sampai SD dan SMP. Akan tetapi, aku mulai merasa jenuh di SMP kelas 2. Aku punya beberapa teman dekat yang berbeda sekali denganku. Prestasi mereka biasa saja. Mereka juga dianggap bandel atau nakal. Aku ingin seperti mereka. Aku tidak ingin dianggap luar bisa atau berbeda dengan yang lain.
Untuk keinginan itu, aku sengaja tidak belajar ketika ujian catur wulan kedua (waktu itu pakai sistem cawu). Aku mengundang teman-temanku ke rumah waktu ujian. Bukan untuk belajar, tapi untuk mendengarkan musik, nonton film dan ngobrol santai. Pada waktu ujianpun, sebagian besar soal aku jawab tanpa membacanya.
Hasil dari ujian itu justru membuat aku stress. Prestasiku menurun dan aku dimarahi karena memang terlihat tidak belajar. Yang lebih bikin stress, prestasiku menurun dari selalu peringkat pertama menjadi peringkat kedua. Aku merasa ini tanggung banget. Menurunnya tanggung, aku tetap luar biasa, sedangkan orangtua tetap saja marah.
Tahap perkembangan anak, seperti yang diungkapkan oleh Bruner, sebenarnya adalah kondisi alamiah yang di dalamnya bisa diisi apapun. Tahapan itu seperti wadah. Jika digambarkan dengan luas penampangnya, ketiganya wadah punya luas atau volume yang berbeda, sehingga akan muntah jika diisi sesuatu yang melebihi kapasitasnya. Tiap tahap punya karakteristik yang akan sesuai dengan isi yang sepadan.
Teori Bruner, seperti halnya juga Teori Piaget maupun Vygotsky, diciptakan untuk bisa diterapkan mengaji maupun aplikasi anak atau orang, siapapun, dimanapun, kapanpun. Hanya saja, perlakuan kita yang seharusnya bijaksana sehingga tiap tahapnya diisi dengan materi belajar yang sesuai dan dengan cara belajar yang sesuai pula.
Jadi, bisa saja anak dipaksa untuk belajar sesuatu yang di luar tahapannya dan dengan cara yang tidak sesuai. Misalnya anak yang masih berpikir konkrit diajari tulisan angka 1, 2, 3 dan seterusnya, bukan pada pengucapan saja, tetapi dituntut untuk mengerti maksudnya dan operasi hitungnya, seperti 2 + 3 = … Proses perhitungan itu tidak menggunakan benda ataupun gambar, langsung simbol angka. Berarti anak dipaksa memahami makna simbol, padahal pada waktu itu belum waktunya.
Mungkin saja anak berhasil. Akan tetapi, karena itu belum waktunya, maka anak berusaha memahami makna dengan modal berpikir konkrit. Seandainya berhasil, bisa jadi itu memang benar-benar berhasil atau hanya kita kira berhasil. Maksud dari ‘dikira berhasil’ adalah, sepertinya anak bisa, padahal itu tidak lebih dari mengingat saja. Coba tes anak yang sudah tahu hasil 2 + 3 =…. dengan perhitungan sebaliknya, 3 + 2 =…. Jika dari jawaban pertama benar, sedangkan jawaban keduanya ia masih berpikir atau menghitung kembali, maka bisa jadi itu bukan tahapnya dia.
Seandainya berhasil, bisa jadi seperti yang pernah aku alami. Aku merasa berhasil secara kognitif. Bisa dibilang aku ini anak pintar. Tapi aku merasa gagal secara emosional. Jika model belajar yang dipaksakan ini diberlakukan, maka harus siap untuk meng-cover efek psikologisnya, sehingga ketika beranjak dewasa, anak tidak jadi rentan stress.
Faktanya, sekarang banyak lembaga bimbingan belajar, baik bahasa maupun matematika yang meng-upgrade kemampuan siswa untuk belajar lebih. Jika orangtua memang ingin melakukan ini, perlu upaya penyeimbang agar anak juga sukses secara mental. Upaya penyeimbang itu mensyaratkan beberapa hal, yaitu,
  1. Pahami tahap perkembangan anak. Awalnya memang butuh belajar, banyak membaca buku atau mencari informasi dari berbagai sumber. Tapi kalau informasi tersebut kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari anak, aku yakin orangtua dengan sendirinya akan lebih peka, meskipun tak menggunakan teori lagi. Karena  teori yang paling berharga itu yang diterapkan dan dikembangkan dari penerapan.
  2.  Gunakan belajar yang sesuai dengan tahapan anak-anak. Belajar alamiah anak adalah dengan bermain. Metode bermain diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas kognitif dan emosinya. Tentu saja aktivitas emosi yang positif, yaitu menyenangkan.
  3.  Seimbangkan juga aktivitas anak. Jika isi pembelajarannya terlampau berat, maka harus konsekuen, kegiatan refreshing dan relaksasinya juga harus lebih banyak. Ini untuk menyelamatkan psikis anak agar tidak mengalami luka.


Satu hal yang harus diingat sebagai pesan dariku, jangan jadikan anak kita orang-orang pinta yang tak bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar