Umumnya orangtua suka kalau anaknya maju dengan lebih
cepat dibandingkan anak-anak sebayanya. Hanya saja, sebagian orantua memaksakan
anaknya untuk belajar sesuatu yang belum waktunya, juga dengan cara yang belum
sesuai dengan dirinya. Lalu bagaimana cara belajar yang sesuai dengan
perkembangan anak?
Tokoh Psikologi Belajar
yang bernama Jerome Seymour Bruner. Beliau ini paling terkenal dengan teori
Discovery Learning-nya.
Bagian
menariknya adalah tentang tahap perkembangan menurut Bruner. Ia membagi tahap
perkembangan menjadi 3: tahap enactive (0-3 tahun), tahap iconic (3-8 tahun)
dan tahap symbolic (> 8 tahun).
Tahap
enactive (0-3 tahun) merupakan tahapan ketika anak mencoba memahami
lingkungannya melalui objek konkrit. Contonya, seorang anak yang belajar
berhitung dengan menggunakan kelereng sebagai media.
Tahap
iconic (3-8 tahun) merupakan tahapan ketika seorang anak mencoba memahami
lingkungan melalui gambar. Contohnya, anak-anak belajar berhitung dengan
gambar-gambar, misalnya gambar bola.
Tahap
symbolic (> 8 tahun) adalah tahapan dimana anak-anak merespon kegiatan dan
alam nyata dengan simbolisasi. Contoh menggunakan simbol angka untuk berhitung.
Berhitung, menulis dan
membaca. Dalam berhitung, aku sudah menguasai operasi hitung tambah, kurang,
kali dan bagi. Begitu juga dengan membaca, aku sudah bisa membaca tulisan arab
maupun latin dengan lancar. Tak kalah juga kemampuan menulis, meskipun
tulisanku juga tidak indah indah amat.
Prestasi
ini terus berlanjut sampai SD dan SMP. Akan tetapi, aku mulai merasa jenuh di
SMP kelas 2. Aku punya beberapa teman dekat yang berbeda sekali denganku.
Prestasi mereka biasa saja. Mereka juga dianggap bandel atau nakal. Aku ingin
seperti mereka. Aku tidak ingin dianggap luar bisa atau berbeda dengan yang
lain.
Untuk
keinginan itu, aku sengaja tidak belajar ketika ujian catur wulan kedua (waktu
itu pakai sistem cawu). Aku mengundang teman-temanku ke rumah waktu ujian.
Bukan untuk belajar, tapi untuk mendengarkan musik, nonton film dan ngobrol
santai. Pada waktu ujianpun, sebagian besar soal aku jawab tanpa membacanya.
Hasil
dari ujian itu justru membuat aku stress. Prestasiku menurun dan aku dimarahi
karena memang terlihat tidak belajar. Yang lebih bikin stress, prestasiku
menurun dari selalu peringkat pertama menjadi peringkat kedua. Aku merasa ini
tanggung banget. Menurunnya tanggung, aku tetap luar biasa, sedangkan orangtua
tetap saja marah.
Tahap
perkembangan anak, seperti yang diungkapkan oleh Bruner, sebenarnya adalah
kondisi alamiah yang di dalamnya bisa diisi apapun. Tahapan itu seperti wadah.
Jika digambarkan dengan luas penampangnya, ketiganya wadah punya luas atau
volume yang berbeda, sehingga akan muntah jika diisi sesuatu yang melebihi
kapasitasnya. Tiap tahap punya karakteristik yang akan sesuai dengan isi yang
sepadan.
Teori
Bruner, seperti halnya juga Teori Piaget maupun Vygotsky, diciptakan untuk bisa
diterapkan mengaji maupun aplikasi anak atau orang, siapapun, dimanapun,
kapanpun. Hanya saja, perlakuan kita yang seharusnya bijaksana sehingga tiap
tahapnya diisi dengan materi belajar yang sesuai dan dengan cara belajar yang
sesuai pula.
Jadi,
bisa saja anak dipaksa untuk belajar sesuatu yang di luar tahapannya dan dengan
cara yang tidak sesuai. Misalnya anak yang masih berpikir konkrit diajari
tulisan angka 1, 2, 3 dan seterusnya, bukan pada pengucapan saja, tetapi
dituntut untuk mengerti maksudnya dan operasi hitungnya, seperti 2 + 3 = …
Proses perhitungan itu tidak menggunakan benda ataupun gambar, langsung simbol
angka. Berarti anak dipaksa memahami makna simbol, padahal pada waktu itu belum
waktunya.
Mungkin
saja anak berhasil. Akan tetapi, karena itu belum waktunya, maka anak berusaha
memahami makna dengan modal berpikir konkrit. Seandainya berhasil, bisa jadi
itu memang benar-benar berhasil atau hanya kita kira berhasil. Maksud dari
‘dikira berhasil’ adalah, sepertinya anak bisa, padahal itu tidak lebih dari
mengingat saja. Coba tes anak yang sudah tahu hasil 2 + 3 =…. dengan
perhitungan sebaliknya, 3 + 2 =…. Jika dari jawaban pertama benar, sedangkan
jawaban keduanya ia masih berpikir atau menghitung kembali, maka bisa jadi itu
bukan tahapnya dia.
Seandainya
berhasil, bisa jadi seperti yang pernah aku alami. Aku merasa berhasil secara
kognitif. Bisa dibilang aku ini anak pintar. Tapi aku merasa gagal secara
emosional. Jika model belajar yang dipaksakan ini diberlakukan, maka harus siap
untuk meng-cover efek psikologisnya, sehingga ketika beranjak dewasa, anak
tidak jadi rentan stress.
Faktanya,
sekarang banyak lembaga bimbingan belajar, baik bahasa maupun matematika yang
meng-upgrade kemampuan siswa untuk belajar lebih. Jika orangtua memang ingin
melakukan ini, perlu upaya penyeimbang agar anak juga sukses secara mental.
Upaya penyeimbang itu mensyaratkan beberapa hal, yaitu,
- Pahami tahap perkembangan anak. Awalnya memang butuh belajar, banyak membaca buku atau mencari informasi dari berbagai sumber. Tapi kalau informasi tersebut kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari anak, aku yakin orangtua dengan sendirinya akan lebih peka, meskipun tak menggunakan teori lagi. Karena teori yang paling berharga itu yang diterapkan dan dikembangkan dari penerapan.
- Gunakan belajar yang sesuai dengan tahapan anak-anak. Belajar alamiah anak adalah dengan bermain. Metode bermain diharapkan dapat menyeimbangkan aktivitas kognitif dan emosinya. Tentu saja aktivitas emosi yang positif, yaitu menyenangkan.
- Seimbangkan juga aktivitas anak. Jika isi pembelajarannya terlampau berat, maka harus konsekuen, kegiatan refreshing dan relaksasinya juga harus lebih banyak. Ini untuk menyelamatkan psikis anak agar tidak mengalami luka.
Satu
hal yang harus diingat sebagai pesan dariku, jangan jadikan anak kita
orang-orang pinta yang tak bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar